Category Archives: Words of Friends

Sebuah Renungan – NILAI PMP SAYA MERAH

 

“JaSayaPancasiladi, nilai PMP kamu merah?”
“Iya, Pa.”
“Gak apa-apa. Nilai agama nggak merah, kan?”
“Gak … ”
“Bagus … ”
Itulah sekelumit percakapan saya dengan ayah saat saya masih duduk di kelas 1 SMA. Sebuah percakapan yang tak pernah saya lupakan hingga kini. Sebuah percakapan yang mengantarkan saya pada kenangan indah bersama ayah saya.(semoga ayah tenang di alam sana bersama amal ibadahnya).
Apa yang membuat nilai PMP saya saat itu merah? Dan kenapa pula ayah saya tidak marah? Begini ceritanya. Saya masih ingat sangat kuat bahwa ‘kemerahan’ nilai PMP saya karena saat ada diskusi kelas PMP tentang Pemilu dengan lantang saya mengatakan bahwa Pemilu yang sedang berlangsung saat itu hanya drama saja, toh pemenangnya sudah pasti itu-itu saja. Guru saya saat itu marah. dan berusaha mengubah pendirian saya. Saya bergeming. Merahlah nilai PMP saya.
Lalu kenapa ayah saya tidak marah. Karena menurut ayah saya, yang tidak boleh merah adalah nilai agama. Sesederhana itu. Tha’s it! Karena ayah saya pun tidak suka dengan pemerintah saat itu. Beliaulah pula yang membuat saya punya pemikiran yang saya lontarkan di diskusi kelas PMP .. hehe.
Lalu, tahun ke tahun berlalu. Teman-teman saya pun makin beragam. Dari berbagai suku dan berbagai keyakinan. Saya pun mulai mengenal sahabat-sahabat ayah saya. Yang salah-satunya berbeda keyakinan dan dari etnis Tionghoa. Tapi, ayah saya sangat mengaguminya. Karena meski bukan muslim, sahabat ayah saya itu selalu peduli dengan ibadah dan tradisi muslim. Bahkan, saat membangun Hall Badminton bersama ayah saya dan teman-temannya yang lain, si kokoh wanti-wanti pada ayah saya bahwa bangunan itu harus ada mushollah yang bagus dan layak.
Di sisi lain, dalam persahabatan saya sendiri, saya mengenal seorang teman dari etnis tioinghoa juga beragama non-muslim yang kemudian ia mengidap penyakit lalu meninggal. Saat itu saya terpukul sekali. Karena saya sangat mengenal ia sebagai seorang gadis yang sangat baik hati dengan tutur kata yang lembut.
“Apakah dia tidak masuk surga dengan kebaikannya itu?” tanya saya waktu itu. Begitu juga saat sahabat ayah saya yang baik hati itu wafat. Pertanyaan yang sama terbersit di benak saya. Cukup lama saya merenungi pertanyaan itu dan tak menemukan jawabannya. Berbagai literatur saya baca, berbagai ceramah saya ikuti.
Sampai suatu saat saya terkesima dengan kisah Rasulullah Saw. yang mendapat ‘teguran’ Allah Swt gara-gara doa Rasul yang ingin pamannya (yang non muslim) melafalkan syahadat saat sakratul maut (jelang ajal). Dari kisah ini saya menarik kesimpulan, masalah keyakinan seseorang itu adalah hidayah total dari Allah … hak prerogatif mutlak Allah! Kita, bahkan Rasul Saw. pun tak punya hak untuk mengubah keyakinan seseorang. Saya pun lega. Itulah kenapa ayah saya kagum dan senang bersahabat dengan si kokoh bertahun-tahun hingga ajal menjemput mereka berdua.
Persahabatan saya pun kemudian berlangsung terus tanpa pandang bulu. Siapa pun, dari etnis apa pun, dari agama apa pun, sepanjang berkarakter baik dan sepanjang ridho Allah, selalu bisa menjadi sahabat saya. Mulai dari kalangan wartawan, pejabat, karyawan, tukang ojek, dsb.
Episode hidup saya pun sempat dalam posisi menjadi duta bangsa ini di negara orang lain lewat seni budaya. Sungguh haru yang sulit dilukiskan lewat kata-kata ketika kami dengan lantang menyanyikan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya dan lagu-lagu nasional lain sambil mengibarkan sang Merah Putih di hadapan orang-orang asing di negara mereka. Tambahan pula kami mampu menyajikan seni budaya Tanah Air yang membuat mereka terkagum-kagum. Semua kami lakukan saling berangkulan tanpa memandang perbedaan demi Merah Putih.
Bahkan suatu saat saya dipertemukan dengan keluarga lokal di US yang hingga kini kami masih bersahabat layaknya keluarga dekat. Saling menyapa, saling berbagi kabar meski hanya lewat media sosial. Sejak saat kami sama-sama belum menikah, lalu hingga kini kami sama-sama memiliki anak masing-masing.
Semua berjalan dengan khusnudzon (berpikir positif – tanpa berburuksangka – padahal banyak kejadian di muka bumi ini yang membuat saya marah terhadap negeri Paman Sam). Saya meyakini semua ini berjalan atas ridho dan izin Allah.
Apa yang terjadi di sekeliling kami yang beresiko terhadap hubungan sebuah persahabatan yang retak tak kami hirau. Selama yakin dengan keyakinan kami masing-masing dan selama percaya bahwa Allah lebih suka manusia yang saling menyayangi juga menyayangi ciptaan-Nya yang lain, selama itu pulalah persahbatan akan langgeng.
Kini pun saya bertemu dengan sebuah komunitas bisnis (dengan latar belakang beragam) yang mengutamakan Tuhan di atas segalanya, lalu keluarga setelah itu bisnis. Sebuah kebetulan? Saya yakin ini semua atas ridho dan izin Allah.
Dan itulah pula yang kini saya yakini dari nilai Pancasila dan Indonesia. Meski nilai PMP saya dulu merah, saya yakin Pancasila adalah jalan terbaik untuk saya, keluarga saya, sahabat-sahabat saya di mana pun berada, agama apa pun, dari etnis apa pun dan untuk Indonesia!

#SayaIndonesia
#SayaPancasila
#IndonesiaBicaraBaik
#RamadhanKareem
#IslamRahmatanLilAlamiin
#KomunitasAmazingTruehealth (KAT)
#PejuangImpian
#Kangenpreneur